DENDA ANGSURAN PINJAMAN DI KOPERASI

Rr. Ratna Saktijaningdijah, S.E, M.SA,
Widyaiswara – UPT Pelatihan Koperasi dan UKM Prov Jawa Timur

Koperasi merupakan salah satu lembaga keuangan non bank yang tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Koperasi dalam kegiatannya memiliki dua karakter yang khas yaitu bersifat ekonomi dan berwatak sosial. Walaupun dalam usahanya berprinsip ekonomi, koperasi tetap mementingkan pendidikan pengkoperasian bagi anggotanya dan juga masyarakat

Harapan menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa Indonesia seakan pudar tatkala koperasi berubah fungsi menjadi rentenir yang hanya memperkaya “pemiliknya saja”. Realita kehidupan masyarakat kita terbelenggu oleh hutang yang nyaris tak terbayarkan akibat koperasi telah berubah fungsi menjadi bisnis yang menguntungkan bagi pelaku usaha. Tentu saja ini merupakan “pembodohan” kepada para anggota, karena harus pasrah menerima aturan yang dibuat oleh pelaku usaha yang sementara konsumen dengan ketidakmengertiannya semakin tertindas oleh kesewenang-wenangan pelaku usaha.

Ditinjau dari perspektif sejarah koperasi Indonesia, menurut Larasati, et al. (2013) bahwa koperasi Indonesia lahir dan tumbuh dari “proses simpan pinjam”. Artinya bahwa kegiatan utama dalam koperasi diawali dari adanya kegiatan simpan pinjam yang kemudian berkembang menjadi berbagai unit bisnis. Koperasi Simpan Pinjam merupakan koperasi yang menitikberatkan kegiatan usahanya pada usaha simpan pinjam sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI No 9 Tahun 1995.

Secara teoritis menurut Larasati, et al. (2013) pinjaman yang diberikan oleh koperasi simpan pinjam kepada anggotanya seharusnya bisa kembali setelah jangka waktu yang telah ditentukan. Namun dalam prakteknya, pengembalian pinjaman tidak sesuai target dan akhirnya menjadi kredit macet. Hal ini tentu saja menimbulkan kerugian bagi semua pihak baik koperasi itu sendiri maupun anggotanya. Bagi koperasi, kondisi ini menyebabkan tidak lancarnya perputaran modal. Sementara dampak bagi anggota yang lain yaitu tidak dapat meminjam uang dikarenakan koperasi tidak mempunyai cukup dana untuk dipinjamkan akibat banyaknya kredit macet.

Pemberlakuan denda saat ini mulai marak dilakukan oleh koperasi sebagai upaya penyelesaian sengketa pinjaman. Sistem denda ini diklaim sebagai bentuk upaya preventif dan represif dari koperasi. Dikatakan sebagai upaya preventif karena ketentuan denda diharapkan bisa mencegah anggota agar tidak melakukan keterlambatan pembayaran sehingga koperasi tidak mengalami kerugian. Sedangkan upaya represif karena dengan adanya ketentuan denda ini, maka apabila anggota terlambat melakukan pembayaran, ia akan diberi sanksi untuk membayar denda sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Adanya denda juga ditujukan untuk memberi efek jera pada anggota yang telah melakukan keterlambatan agar tidak mengulangi perbuatannya (fungsi represif). Sementara bagi anggota lainnya diharapkan pemberlakuan denda ini membuat mereka takut untuk mendapatkan sanksi serupa, sehingga menjaga agar tidak terjadi keterlambatan lagi (fungsi preventif). (Larasati, et al. 2013).

            Realitas yang ada terkait penerapan denda di koperasi untuk mengatasi keterlambatan angsuran oleh anggota terkadang justru menambah beban anggota sehingga menyulitkan saat pembayaran angsuran. Koperasi sebagai penyedia dana pinjaman memang mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya. Akan tetapi, penting juga untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang menjadi penyebab kelalaian anggota dalam membayar angsuran. Apakah hal ini terjadi karena kesengajaan ataukah faktor ekonomi lainnya. Jika merujuk pada tujuan koperasi yaitu kesejahteraan seluruh anggota, maka selayaknya dalam proses penyelamatan pembiayaan, diselesaikan secara kekeluargaan sesuai dengan jatidiri koperasi itu sendiri.

Penerapan denda ini dalam prakteknya sangat beragam sesuai dengan keinginan dari koperasi yang bersangkutan. Maraknya pemberlakuan denda seakan telah menjadi budaya dengan dalih memberikan efek jera bagi anggota yang lalai. Namun kenyataannya, penerapan denda sebenarnya merupakan salah satu motif dari koperasi untuk mengeruk keuntungan yang semaksimal mungkin. Ironisnya, pemerintah pun memilih diam tanpa ada upaya untuk memberantas praktek denda yang melanggar rambu-rambu regulasi.

Denda Angsuran Pinjaman Pada Koperasi Simpan Pinjam Dalam Perspektif Pengurus/Pengelola

Menurut hasil penelitian (Ratna 2016) ditemui berbagai persepsi terkait makna denda angsuran pinjaman pada koperasi simpan pinjam.

Denda Sebagai Traffic Light, penerapan denda dari perspektif pengurus/pengelola KSP bahwa pemberlakuan denda bagi anggota penerima pinjaman merupakan sebuah peringatan atau yang sering diistilahkan sebagai traffic light agar anggota tersebut menunaikan kewajiban serta mentaati kesepakatan sebagaimana yang tertuang dalam kontrak perjanjian pinjaman.

Denda Sebagai Shock Therapy, selanjutnya pengurus/pengelola memaknai denda sebagai salah satu terapi (shock therapy) untuk anggota yang lalai serta menunda-nunda pembayaran angsuran. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan melatih kedisiplinan dari para anggota penerima pinjaman sehingga anggota tersebut tidak mengulangi kesalahannya.

Denda Sebagai Keuntungan Non-Material, denda merupakan keuntungan non-material bagi pihak koperasi. Hal ini mengingat denda yang dikenakan relatif kecil yaitu sebesar 0.5%, artinya pendapatan denda sangat tidak signifikan dibandingkan dengan pendapatan bunga. Namun dibalik itu semua, pihak pengurus/pengelola mengungkapkan bahwa ada keuntungan non material bagi koperasi yaitu menumbuhkan kesadaran maupun partisipasi para anggota akan kewajibannya, serta kejujuran dan kepercayaan antara pengurus dan anggota KSP. Keuntungan ini merupakan sebuah modal penting untuk menjaga nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan sesuai dengan jatidiri koperasi untuk mencapai kesejahteraan seluruh anggota.

Penerapan denda tentu saja merupakan salah satu wujud sikap kewaspadaan dalam mengelola dana anggota koperasi. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa pengurus maupun pengelola bukan saja menyalurkan dana masyarakat dalam bentuk pinjaman, namun harus ikut bertanggung jawab dalam mengembalikan dana simpanan yang dipercayakan oleh anggota kepada mereka. Dengan demikian, penerapan denda atau sanksi administrasi penting diterapkan sebagai upaya preventif dalam mengurangi terjadinya kredit macet.

Denda Angsuran Pinjaman Pada Koperasi Simpan Pinjam Dalam Perspektif Anggota

Perspektif dari para anggota yang mengalami denda ditemukan denda merupakan kewajaran yang menyakitkan. Denda merupakan sebuah kewajaran yang menyakitkan merupakan pemaknaan yang lahir dari adanya pemahaman bahwa denda merupakan salah satu upaya untuk mendisiplinkan anggota dalam hal pembayaran angsuran, sehingga wajar jika timbul sanksi administrasi berupa denda bagi anggota yang sengaja lalai terhadap kewajibannya.

Selanjutnya denda dimaknai sebagai sanksi yang mengabaikan nilai-nilai humanisme merupakan pemahaman yang terbentuk dari pengalaman para anggota penerima pinjaman. Ketika anggota menerima dana pinjaman secara otomatis terbentuklah kesepakatan atau perjanjian dengan KSP pemberi pinjaman.

Denda Angsuran Pinjaman Pada Koperasi Simpan Pinjam Dalam Perspektif Syariah

Berdasarkan Firman Allah QS. al- Ma’idah [5]: 1: “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu…” dan hadis riwayat jama’ah “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman… dan “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” Serta Fatwa MUI tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-Nunda Pembayaran.

Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah

1. Sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.

2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. 3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.

4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.

5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.

6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.

Dari Qur’an dan hadis tersebut dapat dimaknai bahwa, sanksi dapat diterapkan berupa denda bagi anggota yang mampu membayar tetapi menunda-nunda pembayarannya dengan sengaja, akan tetapi dana yang berasar dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial atau dana kebajikan.

“Silaturrahim” sebagai Upaya Penguatan Institusional

Membangun value memangmembutuhkan usaha yang maksimal baik dari pengelola dan pengurus maupun dari anggota koperasi. Konsep Silaturrahim bisa menjadi salah satu upaya untuk penguatan institusional. Menjalin silaturrahim penting bagi kedua belah pihak untuk menegaskan kepentingan melalui sikap kerendahatian. Hal ini memberikan keyakinan bahwa penguatan institusi koperasi akan mengembalikan prinsip musyawarah dan keadilan bagi seluruh anggota koperasi, sehingga kegiatan operasional koperasi benar-benar mengarah pada kesejahteraan bersama anggota.

Idealnya, dalam menjalankan usahanya, para pengurus selayaknya menjadi mitra bagi masyarakat khususnya anggota koperasi untuk memberikan bimbingan, meninjau serta mengontrol usaha yang mereka geluti agar tercipta rasa empati dan simpati antar pengurus dan anggota. Apabila hal ini dilakukan, tentu para pengurus akan mengetahui lebih jelas kira-kira apa hambatan yang dihadapi oleh para anggota, sehingga pengurus tidak harus memfonis dengan menjatuhkan sanksi denda yang bagi sebagian anggota menganggapnya sebagai sanksi diluar batas kemanusiaan. Jika seperti ini, Penerapan denda sebenarnya kurang mendidik bagi anggota koperasi jika ditinjau dari nilai-nilai luhur yang mendasari berdirinya koperasi tersebut. Olehnya, denda menjadi mustahil diterapkan sebagai alat pertanggungjawaban pengurus.

Jika merujuk pada jati diri koperasi, selayaknya setiap keputusan yang diambil dalam kegiatan usaha koperasi haruslah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Musyawarah mufakat ini bukan saja pada kalangan pengurus, akan tetapi harus melibatkan semua anggota, karena bagaimanapun juga, anggota disebut juga sebagai pemilik koperasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.